Selasa, 05 Januari 2010

sekelumit cerita malam tahun baru

Jalanan meredup. Angin mulai bertiup; basah dan dingin. Mobil dan motor mulai lengang. Beberapa orang hanya duduk di pinggir jalan dan berbicara sayup. Ada yang bersandar pada bungkusan terompet-terompet sisa sambil memejamkan mata, yang lain merokok di samping kotak kembang api. Sudah kelelahan mereka rupanya.

Sebuah mobil yang sedang berjalan pelan tiba-tiba menepi dan berhenti. Tak jauh dari sebuah Warung Kopi yang dengan hangatnya masih bercahaya dini hari itu. Lampu mobil padam, pintunya membuka. Seorang gadis berambut pendek keluar dari kemudi. Dengan tas di tangannya ia berjalan lemah masuk ke dalam warung yang berdinding papan dan kawat ram di bagian luarnya itu.

Warung itu tidak terlalu luas; setidaknya jangan bayangkan Starbucks atau J’Co; di dalamnya hanya ada sebuah kursi panjang dan meja saji sekaligus sebagai penghalang antara penjual dan pembeli. Ya, itulah warung di Jalan Tamansari yang masih buka saat semua orang kelelahan usai Perayaan Malam Tahun Baru 2010.

Gadis itu mengambil tempat duduk di sudut. Dengan gontai ia meletakkan tas lalu melipat tangan di atas meja dan menelungkupkan kepala di atasnya, tanpa sempat berkata apa-apa. “Kopi, susu, atau teh, Nona?” Ibu pemilik warung yang berdiri di balik meja berkata sambil tangannya sibuk mengelap gelas.
Gadis berambut pendek itu tidak menjawab. Hanya ada suara lagu pop dari radio kecil di sudut meja, dan sayup-sayup suara sirine.

“NGUUUNG……..NGUUUNG………NGUUUNG……….”

“Ah! mereka masih membereskannya.” tiba-tiba seorang laki-laki datang dengan suara agak berat. Ia berjalan dengan tongkat di tangan kirinya. Salah satu kakinya tergantung, tidak menjejak tanah. Wajahnya masih nampak muda dengan janggut dan kumis tipis.

Ibu Warung mengalihkan pandangan pada lelaki itu, tangannnya mengaduk beberapa gelas minuman. “Sangat tidak bermoral!” serunya. “Orang-orang tidak habisnya berteriak di sana, saling mengusung ego dan kepentingan pribadinya.” tambah Sang Lelaki seraya berusaha duduk di kursi panjang. “Apakah sulit bagi mereka untuk merenungkan apa yang terbaik untuk dilakukan malam ini dan 365 malam ke depan?” Ibu Warung meneruskan.

”NGIUUNG........TAR...TAR...TAR.....” sesekali suara kembang api dari kejauhan terdengar. Memberi warna pada dini hari yang mulai hening.

“Spektakuler!” seru seorang laki-laki yang tiba-tiba masuk dalam pembicaraan. Ia duduk di sudut kursi yang lain. Berjaket tipis dan celana pendek. Rambutnya ikal lebat berantakan. Pandangannya sedang asik tertuju pada layar kamera SLR hitam di tangannya, “Pesta yang sangat mengagumkan! Darah muda bergejolak, tidak setiap hari kami bisa begitu terhanyut dalam kebahagiaan dunia seperti ini, bukan?”.

“Sangat spektakuler, dan kini ‘kita’ punya banyak waktu untuk membereskan semua kebodohan itu. ‘Kita’, termasuk yang malam ini berusaha tidur tenang dan berdoa untuk kebaikan ternyata harus ikut kotor dengan semua abu dan asap di jalanan sana, huh?” ujar lelaki bertongkat.

“Tapi, tidakkah kalian lihat? Itu semua bagian dari dinamika. Ada bermacam peran dalam masyarakat, dan ini sebagian kecil dari fenomena sosial yang sangat kreatif. Lihatlah foto-foto ini,” lelaki fotografer berusaha memperlihatkan gambar di layar kameranya pada yang lain, “Ekspresi kegembiraan yang sangat natural. Keindahan absolut.”. Ibu Warung mengambil dua buah gelas panas berasap dan meletakkan di depan para lelaki itu. “Anak muda, dengar! Memang ada pembagian dalam masyarakat, dan aku memilih yang baik dalam membesarkan anak-anakku. Tidak ada yang lebih berharga bagiku daripada itu di dunia ini.” ia meletakkan sebuah wadah plastik berisi sendok-sendok di atas meja.

Lelaki bertongkat menyandarkan tongkatnya ke meja. Meraih gelas di depannya dan merapatkan ke mulut sambil meneguk dalam-dalam kopi panas di gelas tersebut, “Yah, kau mendapatkan yang berharga dalam hidupmu.” ia meletakkan gelas kembali di atas meja, lalu kepalanya tertunduk, “Lantas, apa yang berharga buatku?”. Semua terdiam, tidak ada kata-kata, hanya alunan lagu lambat dari radio.

“Orang tuaku berpisah, kuliahku hancur, teman-temanku pergi, yang masih tersisa hanya satu kaki ini.” ucap lelaki bertongkat dengan nada lemah, ”Aku makin tidak tahu, sebenarnya untuk apa lagi aku hidup?”
Ibu warung hanya menatap ke arah lelaki yang tengah tertunduk itu, tapi tidak lama. Ia lantas mengalihkan pandangan ke arah gadis di sebelahnya yang sejak datang tadi belum berkata apa-apa, “Ah, Ibu buatkan teh panas untukmu, membuatmu lebih nyaman.”. Ia meletakan cangkir berasap di depan gadis itu, dengan pengalasnya dan sebuah sendok teh, ”Sesuatu telah terjadi padamu? Apa mobilmu di luar itu jadi korban?”. Gadis berambut pendek yang membenamkan kepala di tangannya itu tetap diam, tidak bergerak dan bersuara. ”Kau baik-baik saja, Nak?” Ibu Warung mencoba memperhatikannya.

Akhirnya ia memberi respon, gadis itu mengangkat kepalanya. Wajahnya tampak lusuh. Walaupun matanya sipit namun terlihat bengkak, karena air mata sepertinya. ”Mobilku baik-baik saja.” ia mencoba mulai berkata-kata dengan suara serak. ”Lalu, apa masalahmu?” tanya ibu warung. ”Perasaanku yang tidak baik-baik saja.”

Laki-laki fotografer menoleh, sambil meletakkan kameranya ia memperhatikan gadis itu, ”Bukankah seharusnya kau bersenang-senang malam ini?”. Si Gadis sedikit menoleh juga ke arahnya, lalu tertegun. Wajahnya tampak benar-benar berantakan. ”Ada bekas make-up di wajahmu. Pasti kau tadi pergi dengan beberapa orang teman, atau mungkin seorang teman, membakar kembang api, minum-minum, tukar kado, ya…. kau tau lah.” ujar fotografer lagi tapi segera dipotong oleh Si Gadis. “Ya, aku mendapat kado tadi malam. Kado tahun baru yang tidak akan pernah terlupakan.” ucapnya dengan sedikit nada emosi, “Pacarku selingkuh di depan mataku!”. Mata gadis itu sempat membesar sesaat lalu sayu kembali. Ia tertunduk, dan mulai terdengar isakan tangis pelan. Semuanya tak bergeming dan menatap pada gadis itu.

“Tenangkan dirimu sayang. Usap air matamu” Ibu Warung menyodorkan sebuah wadah kotak berisi tisu. Si Gadis mengambil sehelai tisu dari sana dan mengusap kedua matanya.

“Aku juga pernah merasa jengkel seperti itu.” lelaki fotografer mencoba menghibur, “Saat ada objek yang bagus, tapi hatiku sedang tidak di sana. Perasaannku sedang tidak ingin mengambil gambar seperti itu. Lalu hasil foto yang ku dapatkan menjadi sama sekali buruk. Aku kesal sekali. Seperti tak berguna rasanya diriku.”.“Dan itu mulai kerap terjadi belakangan ini.” tambahnya.

Semua hanya bisa mendengarkan. Tidak berkata apa-apa. Alunan lagu di radio terdengar pelan. Ibu Warung sedang sibuk dengan wajannya di atas kompor. Tampak sedang menggoreng sesuatu.

Tiba-tiba di tengah kebisuan itu muncul seorang laki-laki di pintu belakang warung. “Assalamu ‘alaikum.” salamnya. “Wa ‘alaikum salam.” semua menjawab.

Laki-laki itu masih muda. Berambut lurus, wajahnya putih dengan senyuman manis. Mengenakan jaket dan ada tas di punggungya. ”Ah, Nak. Kemari!” ujar Ibu Warung sambil mematikan kompor dan membersihkan tangannya dengan kain lap.

”Boleh saya ambil kuncinya, Bu?” ucap laki-laki yang baru datang itu sambil melangkah masuk ke dalam warung. ”Tentu.” Ibu Warung berjalan mendekati meja di sudut warung yang lain, ”Sudah selesai perayaan tahun baru mu di masjid?”. ”Alhamdulillah.” jawab laki-laki manis itu.

”Di masjid?” fotografer kembali angkat bicara, “Apakah kau bersenang-senang di sana semalam?”. ”Ya, tentu saja. Sangat luar biasa.”

Gadis berambut pendek mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki manis itu, ”Apakah di sana kau memiliki kekasih setia yang tidak akan pernah meninggalkanmu?”

”Ya, bahkan lebih dari itu.
Allah adalah kekasih bagi orang-orang yang beriman, Dia yang mengangkat mereka dari kegelapan menuju cahaya (Al-Baqoroh:257)”
jawab laki-laki itu dengan suara mantap.

”Apakah kau selalu merasa senang di sana dan tidak pernah merasa kesal atas apa yang telah kau perbuat?” lelaki fotografer bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.

”Tidak ada alsan bagi kami untuk merasa kesal dan tidak bersenang-senang.
Katakanlah Muhammad, bahwa dengan keutamaan dan rohmat Allah, hendaklah mereka bersenang-senang. Demikian itu lebih baik dibanding apa-apa yang mereka kumpulkan (harta/perihal keduniawian). (Yunus: 58)”

Lelaki bertongkat yang sejak tadi tertunduk diam pun ikut mengangkat kepala dan bertanya, ”Apakah kau di sana menemukan alasan untuk apa kau hidup?” ucapnya perlahan.

”Itu yang teramat penting dan mendasar.
Dan tidak menciptakan Aku Allah pada jin dan manusia kecuali mereka supaya menyembah pada Ku Allah.(Adz-Dzariyaat:56)”
jawab laki-laki itu dengan tegas.

Mereka yang mendengar lalu diam serentak tak bergeming. Seakan tidak bisa membantah atau mengeluarkan pertanyaan lagi. Tatapan mereka tertuju pada laki-laki yang sedang berdiri di dekat pintu belakang warung itu. Ia pun hanya diam tanpa berbuat apa-apa.

Ibu Warung mengangkat tangannya yang memegang sebuah benda kecil berkilauan memantulkan cahaya lampu di langit-langit warung. Ia merekahkan senyum dibibirnya, “Ini kuncimu, Nak.” sambil meletakannya di atas meja dekat laki-laki manis itu. “Terima kasih, Bu.” ia mengambil dan menggenggam kunci itu erat-erat, “Kalau begitu saya pamit dahulu.”

Tiba-tiba gadis berambut pendek berdiri dengan semangat, “Perayaan tahun baru mendatang aku akan ikut bersamamu.” ucapnya dengan antusias.

Seakan tidak mau ketinggalan, lelaki fotografer pun berdiri, “Aku juga ikut.”
Lalu lelaki bertongkat meraih tongkat di sisinya untuk membantu ia berdiri, “Tak ada yang lebih kuinginkan selain ikut bersamamu.”



Laki-laki itu mengembangkan senyum manis lagi di wajahnya, “Tidak perlu menunggu hingga tahun depan. Tiap malam adalah perayaan, di masjid kami.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar